
Dokumentasi/Canva
Berada di dalam mobil boks ini bersama banyak ‘partisipan’ lain membuatku sesak napas. Suatu keadaan telah menyeretku berada di situasi yang tak kuinginkan. Orang-orang yang berada di mobil ini terlihat menyeramkan. Hampir semuanya adalah siswa laki-laki dengan tato di lengan, luka di wajah, tindik di telinga, dan masih banyak lagi tanda-tanda kenakalan yang terpampang jelas. Sepertinya banyak dari mereka adalah peserta tawuran antar pelajar.
Namun, dari semua orang-orang ini, tampak di belakang ada seorang siswa yang terlihat berbeda. Ia berbadan kecil dan kulitnya putih mulus, sejak tadi terus menunduk. Entah mengapa, ia diseret juga ke dalam situasi ini.
Alasan kami semua berada di mobil ini karena di negeri yang sangat jauh ini, pemerintahnya tiba-tiba mengeluarkan kebijakan bahwa siswa bermasalah akan di bawa ke camp rehabilitasi. Ini sebenarnya tidak masuk akal. Seharusnya, siswa yang bermasalah dicari tahu dulu akar masalahnya. Semenjak perubahan rezim, pemerintah negeri ini selalu mengeluarkan short-term resolution untuk banyak masalah.
Kami telah sampai di lokasi camp rehabilitasi. Sesaat setelah aku keluar dari pintu mobil, kulihat sekeliling. Luasnya dua kali lapangan bola, dan di tiap sisinya dipasangi pagar beton yang terlihat susah dipanjat. Setelah itu, staf membawa kami ke dalam ruang kamar, atau yang sebenarnya ruang tahanan.
Pagi-pagi buta, saat para siswa masih tertidur, tiba-tiba cambuk kecil berkibas di kaki para siswa. Saat mendarat di kakiku, rasanya sangat sakit. Cukup untuk membuatku melek dan menghilangkan rasa kantuk selama tiga jam.
Kami disuruh berkumpul di lapangan untuk melakukan ‘pemanasan’. Namun, tiada yang menyangka bahwa pemanasan di sini adalah pemanasan secara harfiah. Para siswa dijemur mulai dari matahari terbit hingga matahari terbenam. Tak boleh bergerak, hanya berdiri dan memberi hormat ke bendera negara.
Dalam ‘pemanasan’ itu, siswa yang berbadan kecil yang kulihat di mobil boks tak kuat dengan pemanasan ini. Ia pingsan, dan hanya dibiarkan oleh para petugas. Saat matahari terbenam, petugas akhirnya membiarkan kami kembali ke ruang kamar, sekaligus membopong beberapa siswa yang pingsan.
Kami hanya diberi makan bubur asin oleh para petugas camp. Ini hal yang wajar, lagipula, orang mana yang mau memberikan wagyu A5 ke ‘tahanan’. Kami duduk di ruang makan. Semacam kafetaria sekolah, namun ditambah aksen lumut dan bau jamur dinding yang menambah rasa dari bubur.
Siswa berbadan kecil itu kini duduk didepanku. Dari yang kubaca dari kartu ‘tahanan’-nya, Ia bernama Lim. Saat ini, ia menyendoki makanan ke mulutnya dengan tangan yang bergetar.
Keadaan masih canggung di meja kami berdua. Tiba-tiba seseorang berbadan besar telah berdiri di sebelah meja kami. Tak sempat menghindar, aku ditarik keluar dari meja makan dan terjatuh ke lantai. Ia lalu duduk di tempat ku duduk tadi.
“Kau, anaknya sutradara Nim, kan?”
Kini, orang berbadan besar itu berbicara dengan Lim. Lim tak menjawab. Namun, tangannya terlihat makin bergetar.
Astaga, lihatlah. Ini sangat cringe. Siswa berbadan besar itu tiba-tiba melempar Lim ke meja-meja makan di belakangnya. Orang-orang hanya diam melihat itu. Ruangan senggang, yang terdengar hanya radio berisi pidato pemimpin negara.
“Kita ini negara besar.”
Benar-benar gila. Bullying di tahun ini? Ku kira orang-orang sepakat bahwa kita tidak melakukan itu lagi.
Setelah melempar Lim, orang berbadan besar itu pergi masuk ke bangsal kamar. Orang yang membantu Lim hanya aku seorang. Badannya lemas. Aku membopongnya masuk ke dalam kamarnya.
“Kau tidak apa-apa?”
Lim, seperti biasa, hanya diam dan badannya bergetar lemas di atas dipan tidur.
Keesokan harinya, kami disuruh untuk berlatih menggunakan senjata api, agar tidak melakukan hal bodoh. Tempat berlatihnya didesain bersekat warna kuning. Hingga satu-satunya orang yang bisa mereka tembak adalah diri mereka sendiri.
Para siswa di masukkan ke dalam sekat latihan. Suara-suara tembakan mulai terdengar dari tiap sekat. Objektif dari latihan ini adalah menembakkan 20 peluru ke sasaran. Gabungan dari tiap peluru siswa yang meleset akan menjadi hitungan untuk berapa syal rajut yang tiap siswa akan buat. Jadi, siswa yang paling banyak melesatkan peluru akan jadi orang yang disalahkan di sini.
Siswa yang sudah menghabiskan peluru akan keluar dari sekat. Semuanya sudah keluar, kecuali Lim. Petugas membuka pintu sekatnya. Sekat yang seharusnya berwarna kuning bertambah warna menjadi kuning-merah, seperti bendera negara yang terbalik. Menandakan bahwa negeri ini sudah tak seperti dulu lagi. Lim telah menembak dirinya sendiri.
Setelah kejadian itu, kami semua dipulangkan ke rumah masing-masing. Kejadian tersebut menjadi berita di seluruh penjuru dunia, menyebabkan berkurangnya legitimasi pemerintah di mata masyarakat.
Dari beberapa berita di TV, sekarang aku tahu. Lim tak berhasil menembakkan 19 peluru tepat sasaran karena tremornya. Hanya peluru terakhir yang tepat sasaran menembus kerongkongannya.
Program berita di TV juga menampilkan wawancara dengan teman sekelas Lim sewaktu sekolah. Temannya mengatakan bahwa Lim adalah korban pemalakan oleh berandal sekolah. Berandal-berandal itu tahu bahwa Lim adalah anak dari Nim, yang sekarang hartanya segunung karena menjadi satu-satunya orang yang membanggakan di negara ini. Sebagai sutradara, ayahnya Lim memenangkan penghargaan dunia untuk project film yang di produksi di luar negeri.
Pernah suatu saat, berandal-berandal itu meminta uang seharga motor. Padahal saat itu uang Lim sudah habis diambil mereka. Bahkan, ia sampai mengambil pinjaman online karena pemalakan-pemalakan yang terjadi sebelumnya. Kalau tidak diberi, Lim akan dipukuli dan dipermalukan.
Suatu hari, Lim sedang buang air di toilet. Berandal-berandal itu mengambil celananya yang sedang digantung dan tidak dikembalikan. Lim saat itu harus menunggu hingga tengah malam agar dapat pulang tanpa orang melihat. Tanpa disadari Lim, saat perjalanan pulang, ia direkam oleh berandal-berandal itu dan videonya dikirim ke grup angkatan sekolah.
Dari situ, Lim tak pernah lagi ke sekolah karena malu dan dianggap orang gila, hingga ia masuk kedalam kategori orang bermasalah. Padahal, waktu itu ia dijebak oleh berandal-berandal itu.
Peristiwa ini membangunkan kesadaran masyarakat akan bodohnya rezim ini. Dari sini, banyak gerakan pemberontakan untuk memukul mundurnya pemimpin negara yang selalu membuat keputusan tanpa pikir panjang. Ini juga menjadi pelajaran bahwa pentingnya kesehatan mental para siswa di sekolah.
Penulis: M. Farhan Dunggio
Editor: Vina Alfina Dziro