
Dokumentasi Acara Sosialisasi Pelecehan Seksual dan Kajian LGBT Bersama Ersyah Hairunisah Sahida, Sabtu (9/11) LPM Limas.
Indralaya, lpmlimas.com – Acara sosialisasi pelecehan seksual dan diskusi terbuka mengenai LGBT yang dilaksanakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Mahasiswa (KM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sriwijaya (Unsri) di Gedung A FISIP lantai 2 Kampus Indralaya pada Sabtu, (09/11) berjalan dengan lancar.
Ersyah Hairunisah Suhada, selaku Koordinator Women Crisis Center (WCC) Palembang, untuk bertukar pikiran terkait pelecehan seksual dan LGBT yang bertujuan untuk menambah pemahaman mahasiswa lebih lanjut mengenai gender.
Ersyah menegaskan pentingnya memahami perbedaan konsep antara seks, seksual, seksualitas, dan gender. Ia menyatakan, “Sebetulnya hari ini tuh yang ingin saya capai, pertama teman-teman itu paham dulu terkait konsep seks, seksual, seksualitas dan gender. Karena sebetulnya, ketika kita tidak bisa memisahkan itu, otomatis kita tidak bisa bicara mengenai apa sih faktor dari terjadinya kekerasan pelecehan seksual, gitu kan,” jelasnya.
Ersyah menambahkan bahwa pemahaman yang benar juga diperlukan untuk membongkar stigma-stigma yang kerap kali merugikan perempuan, seperti persepsi bahwa perempuan lebih lemah, tidak pantas memimpin, atau dinilai dari ciri fisik tertentu.
“Sering kali, mahasiswa masih keliru menyebut gender sebagai seks atau seks sebagai hubungan seksual. Jadi, ini yang ingin saya luruskan di awal,” tambahnya.
Saat ditanya mengenai langkah yang perlu diambil oleh perguruan tinggi dalam menghadapi meningkatnya kasus pelecehan seksual di kampus, Ersyah memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, ia menekankan pentingnya pendidikan tentang gender. Menurutnya, pendidikan gender sebaiknya lebih luas diintegrasikan ke dalam kurikulum, bukan hanya terbatas pada jurusan tertentu, seperti jurusan Sosiologi yang hanya menyediakan satu semester untuk topik tersebut. Pendidikan gender, katanya, seharusnya berlangsung sepanjang kehidupan karena isu ketidakadilan gender sudah muncul sejak lahir, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Langkah kedua yang disarankan Ersyah adalah agar mahasiswa mengenali berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan seksual serta mengetahui apa yang harus dilakukan jika mengalaminya atau melihatnya.
“Mahasiswa perlu memiliki jaringan pelaporan yang kuat, mengetahui tempat melapor dan mendapat bantuan,” ujarnya. Ia mengapresiasi universitas-universitas yang sudah bekerja sama dengan WCC dan memiliki Satgas PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual), yang menyediakan layanan pendampingan dan konseling.
Ersyah juga mengusulkan agar sosialisasi dan diskusi mengenai pelecehan seksual diadakan secara rutin, misalnya melalui diskusi-diskusi di kampus atau pertemuan di tempat informal. Namun, ia mengakui bahwa kegiatan semacam ini masih jarang terjadi di kampus karena persepsi yang keliru atau kurangnya kesadaran mengenai pentingnya untuk membahas isu ini.
Ia juga memberikan saran terkait sikap yang harus diambil jika kita melihat kasus pelecehan seksual di sekitar kita adalah menunjukkan rasa peduli. Menurutnya, kita harus menanyakan kepada korban atau penyintas apakah mereka membutuhkan bantuan kita atau tidak. Selain itu, penting untuk memberikan ruang bagi mereka, bukan sekadar mendengarkan, tetapi juga menyediakan ruang di mana mereka bisa merasa santai dan tidak tertekan akibat kejadian tersebut, sehingga mereka merasa aman untuk bercerita.
Langkah selanjutnya adalah memberikan informasi yang relevan, seperti layanan yang tersedia untuk mendukung korban. “Misalnya, kita bisa mengajak korban atau penyintas ke layanan tertentu atau mendampingi mereka untuk mendapatkan bantuan langsung,” kata Ersyah.
Selly Esanova Wijaya, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional 2022 mengungkapkan alasannya menghadiri kegiatan sosialisasi ini karena minatnya di bidang sosial dan edukasi tentang pelecehan seksual.
“Ini tuh bukan sosialisasi pertama aku. Aku emang minatnya di bidang kayak gini, tentang sosial, edukasi pelecehan seksual, kalau misalnya hal ini tuh bahaya banget, semua orang bisa kena. Dan emang aku sebagai salah satu penggiat tentang equality atau kesetaraan perempuan dan kesetaraan semua orang itu ya, jadi, harus datang ke sini.” jelas Selly.
Dian Kurnia Sari, selaku ketua pelaksana mengatakan bahwa acara tersebut bertujuan untuk merespons isu pelecehan seksual yang sedang marak dan memberikan edukasi terhadap mahasiswa agar lebih sadar terhadap tindakan yang berkaitan dengan pelecehan seksual. Selain itu, kegiatan ini juga berkaitan dengan simpang siur mengenai indikasi adanya kegiatan LGBT di lingkungan sekitar kampus FISIP Universitas Sriwijaya.
“Karena di Unsri ini, itu kan lagi marak nih kasus pelecehan seksual. Ya, itu sih, apalagi di FISIP Unsri kan banyak, kayak, momen-momen di mana kita tuh menemukan adanya indikasi LGBT, itu aja sih,” jelas Dian saat ditanya mengenai alasan diadakannya kegiatan sosialisasi tersebut.
“Untuk mengedukasi juga, kayak ngasih wawasan juga buat temen-temen semuanya. Apa sih LGBT itu, terus juga kayak ngasih pelajaran juga, agar lebih aware juga mengenai pelecehan seksual gitu,” lanjutnya.
Ersyah berharap semua orang menyadari bahwa pelecehan seksual adalah tindakan salah yang tidak bisa dibenarkan, dan mengajak untuk tidak lagi menyalahkan korban, seperti yang sering terjadi terkait pakaian atau perilaku. Ia juga menginginkan lebih banyak ruang diskusi mengenai isu ini di kampus, agar mahasiswa bisa lebih peduli terhadap korban, yang sering kali merasa malu dan trauma.
“Jangan karena kejadian ini jarang terjadi, kita jadi jarang membahasnya. Padahal, setelah kejadian, korban sering merasa malu dan trauma. Mereka bisa saja mengucilkan diri atau menarik diri, namun kita sering kali lebih fokus pada pelaku, seperti menginginkan mereka dipenjara atau dikeluarkan dari universitas, tanpa peduli dengan kebutuhan korban,” ucap Ersyah.
Ersyah juga berharap penanganan pelecehan seksual melibatkan kerja sama lintas sektor, dengan memperkuat peran Satgas PPKS Universitas Sriwijaya dan layanan di fakultas untuk mendukung korban secara lebih efektif.
“Harapan saya adalah memperkuat dan mengembangkan peran Satgas PPKS Universitas Sriwijaya, karena mereka yang memiliki mandat resmi dari universitas untuk melakukan pencegahan dan penanganan,” ujar Ersyah.
Ia berharap agar kasus pelecehan seksual di Universitas Sriwijaya segera berkurang dan ditangani dengan cepat, termasuk tindakan terhadap pelaku. Ia juga mengatakan bahwa forum sosialisasi seperti ini akan diadakan lagi, meskipun belum ada kepastian mengenai waktu pelaksanaannya.
“Forum sosialisasi seperti ini kemungkinan besar akan diadakan kembali, cuma belum tahu kapan.” tutur Ersyah.
Reporter: Tasya Amanda, Sri Nuraini, Sinta, Andini
Penulis: F. R. Putri dan Ira Wulandari
Editor: Niswatul Jannah dan Siti Sulia Febrianti