
Kegiatan obrolan ruang publik dengan tema “Bagaimana Demokrasi dan HAM" diadakan di Rumah Sintas pada Jumat (26/7)
Palembang, lpmlimas.com – Kegiatan obrolan ruang publik dengan tema “Bagaimana Demokrasi dan HAM Hari Ini” yang dihadiri oleh Fatia Maulidiyanti, Ferdiansyah Rivai, dan Taxlan sebagai narasumber. Kegiatan tersebut diadakan di Rumah Sintas pada Jumat (26/7) pukul 19.30 WIB.
Diskusi malam itu membahas topik pemerataan ekonomi sebagai hak asasi dalam bidang ekonomi serta metode untuk mengidentifikasi akar permasalah dalam Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi di Palembang.
Ferdiansyah Rivai menyampaikan, bahwa kekayaan yang hanya dimiliki oleh segelintir orang saja, dapat menyebabkan kesenjangan yang ada semakin melebar. Hal ini menjadi sebuah kekhawatiran karena ketika tidak adanya pemerataan ekonomi, maka akan berdampak pada politik.
“Kita bisa bilang tanpa ada pemerataan ekonomi jangan harap ada kualitas dari politik karena tidak ada politik di perut yang lapar,” ujar Ferdiansyah dalam diskusi.
Namun, lebih lanjut Feriansyah menjelaskan bahwa untuk mencapai sebuah ekonomi yang tercukupi akan menjadi sulit jika terdapat peraturan pemerintahan yang mengatur potongan-potongan gaji kelas menengah, seperti potongan Tapera, BPJS, potongan-potongan lainnya.
“Kita melihat bahwa terdapat kebijakan-kebijakan seperti potongan Tapera, BPJS, yang membuat kelas menengah tidak pernah kaya. Secara political strategi, kita kelas menengah yang terdidik, kita harus rewel dan harus mengkonsolidasikan baik secara regional atau nasional” tambahnya.
Saat diskusi berlanjut, terdapat pertanyaan yang diajukan oleh Taxlan sebagai perwakilan dari warga sipil.
“Bagaimana ekonomi kelas menengah bisa tercukupi? Kira-kira apa yang membuat kalah sebuah kelas menengah padahal mereka dalam kuantitas yang berjumlah banyak?” ujarnya.
Fatia Mauliyanti mengatakan bahwa hal ini terjadi karena beberapa hal, pertama adanya kemiskinan struktural atas dasar warga harus berhadapan dengan politik ketakutan seperti kriminalisasi dan soal penangkapan.
“Kemiskinan terjadi secara struktural, kita harus berhadapan dengan politik ketakutan, dengan kriminalisasi, soal penangkapan. Hal ini terbukti bahwa survey 62% orang takut mengemukakan pendapat, yang mana masyarakat sipil menjadi aur-auran tidak mengkonsolidasikan diri, sehingga kemiskinan struktural menjadi kemiskinan kultural,” sampainya.
Kemiskinan yang dimaksud bukan hanya dalam bidang ekonomi saja, melainkan dalam akses informasi yang ada di lingkungan masyarakat.
“Kemiskinan bukan hanya membahas tentang materi, tetapi kemiskinan informasi juga termasuk di dalamnya,” tambah Fatia.
Kedua, menurut Fatia, perlu adanya konsistensi dan terus berjalan, ia menyadari bahwa ketika masa orde baru selesai dan reformasi terjadi, aktivis ‘98 berfokus kepada sebuah pembentukan legislatif tanpa mempererat masyarakat sehingga mengakibatkan kata “Hak Asasi Manusia (HAM)” asing bagi masyarakat. Menurutnya, ‘98 adalah keberhasilan orang-orang muda, tetapi yang menjadi kesalahan ialah sebagai anak muda tidak meng-upgrade diri.
“ ‘98 adalah keberhasilan orang-orang muda sebenarnya, mereka berpengaruh, tetapi yang salah dari kita ialah tidak meng-upgrade diri,” ujarnya.
“Kenapa kita tidak secara konsisten dan terus berjalan, ketika reformasi terjadi aktivis ‘98 fokus pada pembentukan legislatif tanpa memperekat masyarakat sehingga kata “HAM” menjadi tidak elit bagi masyarakat,” tambahnya.
Ferdi juga turut menyampaikan bahwasannya ada metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi akar masalah dalam HAM dan demokrasi, yaitu membaca dan berdiskusi.
“Metode itu jika dibangun di bangku perkuliahan itu dasar empat semester. Jika disederhanakan untuk hari ini semua bisa dikerahkan, yakni human right yang kita butuhkan adalah individu yang berani menyuarakan. Metodenya ialah membaca dan berdiskusi, di ilmu sosial tidak ada instrumen yang baik selain diri anda sendiri, yakni dengan memperkuat diri sendiri. Ini bukan sesuatu yang sulit tetapi butuh kemauan akan diri sendiri. Sebab budaya teks dapat menghidupkan imajinasi, banyak revolusi lahir karena hidup di perpustakaan dan budaya bagus dapat kita teruskan,” jelas Ferdi.
Lebih lanjut, tim LPM Limas melakukan wawancara langsung kepada Fatia perihal upaya yang bisa dilakukan anak muda untuk dapat menggaungkan bahwa kata Hak Asasi Manusia bukan lagi sebagai kata elit, melainkan sebuah kata yang merangkul masyarakat.
Fatia menyampaikan jika terdapat banyak cara yang dapat diciptakan dan dilakukan salah satunya dengan pendidikan politik alternatif.
“Sebenarnya caranya bisa diciptakan dan ada banyak, terlepas ingin bergantung pada organisasi masyarakat sipil atau membuatnya secara organik. Buktinya sekarang Sumsel ada beberapa organisasi kolektif atau organisasi masyarakat sipil yang punya kegiatan pendidikan politik alternatif. Itu bisa dimanfaatkan teman-teman muda untuk mencari tahu tentang apa itu HAM, isu politik, isu sosial yang sedang terjadi di hari ini, bagaimana anak muda mengambil peran dan lain sebagainya. Di era seperti ini kita sudah tidak bisa tergantung dengan sistem negara ataupun pendidikan formal di mana kita tahu bahwa sangat miskin informasinya tentang politik dan juga tentang isu sosial yang real terjadi di lapangan. Karena secara kurikulum saja memang kita nggak dibuat untuk menjadi merdeka secara pemikiran begitu kan, jadi kita memang harus pintar mencari alternatif lain yang bisa mengajarkan kita terkait soal isu-isu sosial hari ini yang salah satunya itu Hak Asasi Manusia, korupsi, lingkungan, dan lainnya. Dan sebetulnya kalau disadari itu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari dan kurasa sekarang banyak beberapa organisasi ataupun kolektif yang punya forum semacam itu kayak diskusi publik, sekadar ngobrol dengan teman-teman muda, dan mengimajinasikan yang ingin dilakukan,” tuturnya kepada LPM Limas.
Selain itu, Fatia berharap jika anak muda memiliki kemauan, keberanian, dan konsistensi terkait isi HAM yang ada di sekitar.
“Posisinya adalah tergantung apakah punya kemauan, keberanian, dan konsisten apa enggak itu tiga kunci yang perlu diperluas di kelompok-kelompok muda di Sumsel. Bahwa sebenarnya itu gini, menjadi orang yang aware ataupun bergerak di isu HAM itu bukan lah sesuatu yang sulit selama kita punya kemauan dan selama kita sebetulnya mau belajar sebab Kita sekarang punya privilege arus informasi yang cepat tinggal googling semua informasi bisa keluar, dan media sosial sekarang sudah dikooptasi oleh orang-orang penguasa untuk bisa melanggengkan kapitalisme tadi. Tapi, di satu sisi justru kita harus reclaiming ruang publik itu. Jangan-jangan kita harus meng-counter attack dengan menggunakan cara yang populer lewat media sosial atau diskusi warung kopi untuk bisa mempopulerkan bahasa HAM dengan anak muda supaya mudah dicerna dan lebih muda masuk ke kehidupan teman-teman muda sehari-hari. Karena caranya bisa banyak, formulasi bisa banyak gak ada rumus baku untuk belajar HAM. Tapi bagaimana sebetulnya itu soal bagaimana kita menerjemahkannya dan apakah kita mau untuk mempelajari itu,” jelasnya.
Menjelang akhir obrolan ruang publik, Fatia mengatakan bahwa kita saat ini sedang berada di sebuah sejarah yang berulang, yang disebut Dark Age, ia berpesan bahwa perlu direbut kembali renaisans mau tidak mau.
“Kita berada di sejarah yang berulang, dari Dark Age, Renaisans, Revolusi Prancis. Kini kita berada dalam Dark Age kembali maka kita perlu merebut kembali renaisans mau tidak mau, salah satunya bisa dengan membuat sekolah politik, menulis artikel, dan melalui musik atau lagu,” tukasnya.
Reporter : Gloria Junita
Penulis : Bagus Rahmat Nugroho
Editor : Firdaus A. Hakim