
Kartunis: Aqilla Farah Adzra
lpmlimas.com – Seni telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai media penyaluran emosi, kritik, hingga keluh kesah mereka yang tidak dapat diekspresikan secara langsung ke publik terhadap suatu ketidakadilan yang telah terjadi. Dengan adanya seni, banyak masyarakat mulai merasakan resonansi dan menganggap bahwa suara mereka diserukan dalam sebuah karya seni yang mereka amati. Meski seni seringkali digunakan sebagai media penyaluran aspirasi masyarakat, masih saja ada pihak kekuasaan yang tersinggung dengan adanya karya yang berunsur mengkritik masalah sosial yang saat ini sedang mengalami krisis. Dengan adanya keterbatasan dalam berekspresi di Indonesia saat ini, timbullah pertanyaan yang sangat krusial: “Apakah seni yang mengandung kritik sosial ekstrim masih tetap diperbolehkan?”
Fenomena tentang keterbatasan berekspresi melalui karya seni ini bukanlah hal yang baru di Indonesia, Wiratraman (2025) menjelaskan bahwa adanya sensor terhadap karya seni di Indonesia seringkali dikarenakan banyak alasan seperti hukum dan ketertiban umum. Dengan penerapan hal tersebut, banyak seniman yang seringkali jatuh ke dalam posisi rentan dikarenakan adanya keterbatasan dalam berekspresi dalam segi musik, lukisan, hingga puisi. Sehingga memicu jarangnya karya seni yang tampil di Indonesia dikarenakan keterbatasan dalam berekspresi.
Kritik sosial dalam format seni mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat. Seni bukan hanya diciptakan sebagai hiburan saja, melainkan juga menjadi sebuah sarana untuk refleksi dan mengedukasi masyarakat. Melalui kritik lewat karya seni, banyak masyarakat yang akhirnya ikut berani untuk menjadikan seni sebagai wadah protes mereka bagi pemerintah, dan banyak masyarakat telah mulai membuka mata dan pikiran untuk berpikir kritis dalam mengkritik kinerja pemerintah lewat karya seni yang digunakan sebagai pendorong dalam bersuara.
Menurut Prasiasa dan Handayani (2022) dalam Mudra: Jurnal Seni Budaya, seni mural diciptakan sebagai konstruksi budaya yang berperan untuk membentuk kesadaran masyarakat secara kolektif terhadap adanya ketidakadilan sosial. Dan oleh karena itu, seni seharusnya dibuat untuk menjadi ruang dialog antara pemerintah dan juga rakyat, bukanlah sekadar sebuah alat propaganda ataupun hiasan semata.
Salah satu kasus yang dapat dijadikan sebagai contoh dalam keterbatasan berekspresi di Indonesia. Seorang seniman asal Yogyakarta, Yos Suprapto. membuat dua karya kontroversial yang berjudul Tanah untuk Kedaulatan Pangan dan Konoha I. Kedua karya ini seharusnya ditampilkan dalam pameran bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” di Galeri Nasional Jakarta pada Desember 2024 lalu. Namun sayangnya, kedua karya tersebut harus batal dipamerkan dalam beberapa jam sebelum pembukaan dikarenakan kedua lukisan tersebut dianggap terlalu vulgar dan dapat berpotensi menyinggung pihak lain atau mencemari nama baik.

Karya Tanah untuk Kedaulatan Pangan
oleh Yos Suprapto (Sumber: Dokumen Yos)

Karya Konoha I
Oleh Yos Suprapto (Sumber: Dokumen Yos)
Adanya pembatalan pameran tersebut membuat banyak aktivis, seniman, hingga organisasi hak asasi manusia lainnya menunjukkan rasa protes mereka terhadap tindakan tersebut. Mereka menilai bahwa tindakan tersebut dilakukan sebagai salah satu bentuk pembungkaman terhadap kebebasan dalam berekspresi.
Seni tidak hanya berbentuk lukisan, melainkan juga berbentuk musik. Salah satu band musik Indonesia yang telah mengalami keterbatasan dalam berekspresi adalah Band Sukatani. Pada tanggal 24 Juli 2023, mereka merilis album pertama yang berisikan delapan lagu berbau kritik pemerintahan Indonesia, dan salah satu lagu mereka yang berjudul Bayar Bayar Bayar menjadi viral di tahun 2025, hingga memberikan sebuah motivasi dalam bangkitnya gerakan #IndonesiaGelap. Lirik lagu tersebut mengandung unsur seperti menyindir aparat kepolisian yang seringkali mengharapkan imbalan sebagai syarat untuk menyelesaikan masalah warga sekitar. Salah satu kasus yang sangat umum terjadi ialah kepolisian seringkali melakukan penilangan tanpa alasan yang berujung pungutan liar (pungli), meskipun pengendara yang lewat mematuhi aturan lalu lintas, mereka tetap kena sanksi dengan membayar uang tilang. Bukan hanya menilang saja, lirik lagu ini juga berbunyi “mau bikin SIM, bayar polisi” yang dimana terdapat banyak sekali kasus pungli dalam regulasi yang melibatkan kepolisian.
Bayar Bayar Bayar
Lagu Sukatani – 2023

Lirik lagu Bayar Bayar Bayar oleh Band Sukatani (Sumber: Musixmatch)
Setelah viralnya lagu tersebut, kepolisian memutuskan untuk melacak anggota band Sukatani dan membuat mereka melakukan klarifikasi secara publik. Setelah keluarnya klarifikasi tersebut, banyak netizen menunjukkan rasa protes mereka terhadap tindakan tersebut. Banyak yang beranggapan bahwa tindakan dari kepolisian dinilai intimidatif dan juga represif terhadap band tersebut. Masyarakat pun akhirnya menunjukkan dukungan mereka terhadap band Sukatani yang berani untuk menyuarakan protes masyarakat terhadap kepolisian.
Untuk saat ini, seni yang digunakan sebagai bahan kritik sosial sangat mencerminkan seberapa jauhnya masyarakat lebih menghargai nilai kebebasan dan berpikir kritis dalam menyuarakan aspirasi mereka terhadap suatu ketidakadilan. Jika sebuah karya seni dibungkam, maka suara rakyat yang ikut menyuarakan juga ikut terdiam. Namun, jika seni diberikan sebuah ruang, masyarakat akan berkembang menjadi individu yang lebih peka terhadap sekitar, mulai ikut untuk berpikir kritis dan juga lebih terbuka dalam isu-isu sosial. Tujuan utama diciptakannya karya seni bukanlah untuk menjadi ancaman, melainkan untuk menyuarakan sebuah aspirasi ketika masyarakat masih takut untuk menyuarakannya.
Penulis: Aqilla Farah Adzra
Editor: M. Fajar Meydiansyah
Referensi:
Firdaus, A. (2024). Pembatalan pameran Yos Suprapto, kebebasan seni dan isu sensor. BenarNews. https://www.benarnews.org/indonesian/berita/pembatalan-pameran-yos-suprapto-kebebasan-seni-12242024111730.html
Prasiasa, D. P. O., & Handayani. (2022). Mural art as a media for social criticism: Perspective structuralist-constructivism. Mudra: Jurnal Seni Budaya, 37(2). https://jurnal.isi-dps.ac.id/index.php/mudra/article/view/1985
Setiawan, D., & Utomo, D. M. B. (2022). Fenomena mural dan graffiti sebagai media kritik sosial dalam perspektif interaksi sosial Alfred Schutz. Indonesian Journal of Cultural and Community Development, 13. https://ijccd.umsida.ac.id/index.php/ijccd/article/view/825
Ramlih, M., & Nurdiyanto, W. (2023). Mural itu karya seni, mengapa pemerintah sampai paranoid?. Times Jakarta. https://jakarta.times.co.id/news/berita/v53pn138it/mural-itu-karya-seni-mengapa-pemerintah-sampai-paranoid
Rizki, M., Khansa, I. A., & Ramadhan, R. A. (2025). Profil Sukatani, Band Punk New Wave Pencipta Lagu Bayar Bayar Bayar. KumparanNews. https://kumparan.com/kumparannews/profil-sukatani-band-punk-new-wave-pencipta-lagu-bayar-bayar-bayar-24Xq68h3gii/full