
Aku ingin hanya menurut padamu.
Aku ingin bodoh, tak tahu kapan kematianku.
Aku ingin dibesarkan dengan pelet berkualitas itu.
Aku ingin menjadi ayam peliharaan nomor 45-mu.
Jaga diriku ini dari tekanan.
Usah kau berikanku candu.
Sama saja seperti menjatuhkan harga diriku.
Ternak aku.
Walau ajalku datang dalam sekali tebas,
ragaku akan membalasnya saat masuk ke gerbang suara.
Itu lebih baik daripada menderita seumur hidup namun hanya menjadi pakan harimau.
Tolong. Beri aku makan!
Namun di dalam keputusasaan itu muncul kesadaran bahwa majikanku adalah seonggok kotoran yang menjelma menjadi manusia.
“Wahai sang kotoran, mengapa kau beri aku harapan?”
Onggokan kotoran itu hanya diam.
Astaga! Tak pernah aku sebodoh ini.
Mengapa kurelakan restuku untuk kotoran yang tak bisa bergerak.
Tak bisa berbicara.
Tak bisa berpikir.
Kotoran seharusnya menjadi pembakar makanan untuk masyarakat,
bukan menjadi pembakar hutan demi membuat hutan.
Tiada siapapun yang menyukai kotoran, kecuali seorang kecoa kotor.
Buktinya, muka kecoa itu kini penuh panu.
Tanda ia menggunakan kotoran sebagai skincare demi terlihat berkarisma di mata sesama spesiesnya.
Namun, itu hal yang dungu di mata manusia.
Kecoa mendorong kotoran dengan gerobak bersama istrinya.
Gerobak sang suami berkode JKW,
sedangkan milik sang istri berkode DW IRN.
Ini bau sekali. Aku tak tahan berada di lingkungan ini.
Baunya menyebar. Tanda oligarki di tempat ini telah merugikan banyak orang.
Penulis: Farhan Dunggio
Editor: Nabila Dwi Lestari