
Sumber Foto: Kompas.com
Olahraga memberikan peluang bagi Indonesia untuk bersinar di kancah global, seperti di Southeast Asian Games (SEA Games). Peluang ini telah dimanfaatkan secara efektif, banyak atlet Indonesia yang telah tampil mengagumkan, mengalahkan pesaing dari negara lain dan mendapatkan kekaguman serta rasa hormat terhadap Indonesia. Namun, kontribusi mereka memudar seiring berjalannya waktu, begitu para atlet ini meninggalkan sorotan, prestasi dan ketenaran yang mereka bawa ke negaranya seringkali terlupakan.
Prestasi mereka belum tentu menjamin kesejahteraan mereka, dan pengakuan atas pengabdian mereka terhadap negara masih terbatas. Seiring bertambahnya usia para atlet dan berkurangnya stamina, mereka menghadapi tantangan pensiun dan berjuang untuk menghidupi diri sendiri, seringkali mereka harus mengesampingkan harga diri mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Seperti Leni Haini, mantan atlet dayung nasional. Banyak penghargaan dikaitkan dengan namanya, ia membawa Indonesia meraih dua medali emas pada Kejuaraan Perahu Naga Asia di Singapura, tiga medali emas dan satu perak pada Kejuaraan Perahu Naga Dunia di Hong Kong, serta satu emas pada Kejuaraan Perahu Naga Asia di Taiwan. Sayangnya, pencapaian tersebut belum diterjemahkan menjadi nilai abadi, apalagi mengingat perjalanannya.
Semasa Sekolah Menengah Pertama (SMP), Leni direkrut ke pelatihan nasional dan disarankan untuk fokus hanya pada olahraga meskipun banyak pertanyaan tentang status pendidikannya. Namun, ia tetap tenang, diyakinkan bahwa dia akan kembali bersekolah setelah karir kompetitifnya. Namun, ketika ia meninggalkan pelatihan nasional pada usia 22 tahun, perubahan manajemen menyebabkan prospek pendidikannya terbengkalai. Bermodalkan hanya ijazah Sekolah Dasar (SD) dan mengenyam pendidikan Paket B, Leni kesulitan mencari pekerjaan hingga akhirnya bekerja sebagai buruh laundry.
Tantangannya semakin bertambah. Leni harus menjual harta bendanya untuk menutupi biaya pengobatan anaknya yang menderita penyakit langka. Anak bungsunya, Habibah, yang juga dikenal sebagai Dedek, menderita Epidermolysis Bullosa (EB), suatu kondisi yang membuat kulitnya sangat rapuh dan rentan cedera. “Kami tidak bisa memakai pakaian terlalu lama, kulitnya menempel pada kain dan menimbulkan luka,” jelas Leni.
Ketegangan finansial ini membuatnya mencari pengakuan atas pencapaiannya di masa lalukarena frustrasi. Leni bahkan pernah mempertimbangkan untuk menjual sebagian medali emasnya, termasuk satu medali emas yang diraihnya di Australia karena kelelahan dengan janji-janji pemerintah. Setelah berhenti dari kompetisi dayung, ia mencari penghasilan melalui pekerjaan mencuci pakaian di komunitasnya dan sesekali berlatih mendayung, meskipun penghasilannya minim.
Penulis: Christine Horasima Magdalena
Editor: Siti Sulia Febrianti