
Foto: Canva
Kita disuruh merayakan kemerdekaan.
Tapi jujur saja, apa yang sebenarnya kita rayakan?
Kemerdekaan rakyat, atau kemerdekaan bagi segerombol insan rakus yang menjarah negeri ini tanpa malu?
Kita disuruh merayakan kebebasan, tapi apa arti dari yang bebas?
Bebas menyaksikan seluruh jogetan kalian?
Seperti cacing yang menggeliat, menari di atas panggung dengan menutup mata, hati, dan telinga.
Seakan jerit rakyatnya yang mengemis akan setitik nama “keadilan”, tak pernah nyata, dan hanya ilusi kalian saja.
Tidak? Oh, tentu tidak salah lagi.
Hei, tikus got yang berdasi! Coba bangun dulu dari tidur kalian di kursi-kursi itu, dunia melihatnya sudahlah.
Para yang katanya penyusun dengan jutaan rupiah per-hari, sementara jutaan rakyat antre beras murah.
Mereka bilang itu bukan kenaikan, hanya penambahan tempat tinggal.
Memang lucu.
Hanya di negeri ini, kata penyesuaian bisa berarti pesta bagi penguasanya.
Yang katanya perusahaan penunjang bahan bakar dalam negeri bocor triliunan, uang rakyat menguap.
Hukum? Sudah basi. Tajam ke bawah, bahkan sudah tak tumpul ke atas,
dan kini hanya menjadi pajangan di buku pelajaran.
Memalukan.
Pati meledak minggu lalu
Seratus ribu lebih turun ke jalan, menolak tingginya pajak bumi yang dirasa berat bagi mereka.
Dibalasnya penahanan yang mengiris harga diri rakyat.
Seolah-olah darah kami hanyalah tinta murah yang bisa dipakai untuk menulis ulang sejarah.
Orang-orang dengan jejak gelapnya pada masa lampau.
Mereka yang pernah bermakan darah, kini duduk di kursi tertinggi dengan sumringah, seolah dosa dan sejarah bisa diputihkan dengan pidato indah.
Bahkan iblis pun terbahak, menyaksikannya atau mereka lah iblis itu sendiri?
Hanya saja tanduknya telah ditutupi oleh peci hitam seperti yang muncul di televisi.
Tak sampai disana, kita dipaksa percaya bahwa “Inilah demokrasi, wahai rakyatku tercinta.”
Ya tuhan, kami berduka, kami berduka.
Jangan bangga wahai kalian yang tidak pantas disebut penguasa.
Kalian adalah pengecut yang menggadaikan republik, demi kekenyangan perut buncit dengan uang semata.
Percaya atau tidak, sejarah tidak akan pernah berpihak pada satu pun dari kalian.
Rakyat marah, mengutuk, hingga berdoa.
Agar tanah kami tempat kalian berpijak menolak kalian,
Agar nama kalian hanya dikenang sebagai noda, dan agar anak cucu kalian kelak malu, mengakui bahwa ada aliran darah busuk yang menetes pada setiap jiwa kalian.
Merdeka bukan untuk kami. Merdeka hanya milik kalian para pengkhianat sumpah bangsa.
Penulis: Naaifah Aurelia
Editor: M. Fajar Meydiansyah