
Sidang lanjutan gugatan kasus lingkungan kabut asap kembali digelar di Pengadilan Negeri Palembang Kelas IA pada Kamis (10/04) Dokumentasi: LPM Limas/Alif Daffa
Sidang lanjutan gugatan kasus lingkungan kabut asap kembali digelar di Pengadilan Negeri Palembang Kelas IA pada Kamis (10/04). Menghadirkan saksi ahli, Azwar Maas, Guru Besar Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada, Andri Gunawan Wibisana, Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Indonesia, serta Iman Prihandono, Guru Besar Hukum Universitas Airlangga.
Fokus utama sidang kali ini adalah dampak lingkungan akibat asap yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan, kebakaran ini disebabkan oleh tiga perusahaan kebun kayu, yaitu PT Bumi Mekar Hijau, PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries dan PT Bumi Andalas Permai yang awalnya digugat oleh 11 warga Sumatera Selatan serta Greenpeace Indonesia sebagai penggugat intervensi.
Dalam keterangan saksi ahli, Azwar Maas. Guru Besar Ilmu Tanah dan Lahan Basah UGM. Kebakaran gambut disebut lebih berbahaya dibandingkan kebakaran di tanah mineral, karena apinya bisa menjalar ke bawah permukaan tanah dan berlangsung lama, bahkan berhari-hari serta sulit untuk dipadamkan.
“Asap dari gambut sangat sulit ditangani, dan satu-satunya cara menghentikan sepenuhnya adalah dengan curah hujan yang tinggi, dibutuhkan lebih dari 30 mm [milimeter] hujan untuk membasahi lahan yang terbakar,” ujarnya.
Azwar menambahkan bahwa kebakaran gambut yang terjadi di Sumatera Selatan sejak beberapa tahun terakhir, termasuk yang berulang pada tahun 2023, telah menyumbang kabut asap tebal yang berdampak hingga ke kota Palembang. Hal ini bukan hanya bencana ekologis, tetapi juga bencana kesehatan masyarakat.
“Kebakaran gambut bisa melepas asap beracun yang mengandung partikel halus, senyawa logam seperti seng, magnesium, dan zat lain yang membahayakan kesehatan, terutama bagi bayi, lansia, dan penderita gangguan pernapasan,” tambah Azwar.
Ia juga menjelaskan bahwa lahan gambut memiliki sifat unik dibanding tanah mineral. Gambut terbentuk dari tumpukan mineral organik seperti kayu dan tumbuhan rawa yang membusuk dalam kondisi basah.
“Gambut itu hidrofilik, artinya menyukai air, dan secara alami tidak mudah terbakar. Namun jika kekeringan misalnya akibat pembuatan kanal atau pembukaan lahan gambut akan menjadi hidrofobik dan sangat rentan terbakar,” ujar Azwar.
Sidang ini menjadi titik penting dalam perjuangan berbagai elemen masyarakat dan organisasi lingkungan seperti Greenpeace untuk menuntut pertanggungjawaban atas kerusakan ekosistem gambut yang semakin meluas di Indonesia. Palembang, sebagai salah satu kota terdampak paling parah akibat kabut asap, disebutkan memerlukan perhatian serius dalam perlindungan kawasan gambut, terutama melalui penegakan hukum dan implementasi regulasi seperti Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Reporter: Alif Daffa, Aqillah Farah, Vina Alfina, F.R. Putri
Penulis: Vina Alfina Dziro, Ira Wulandari
Editor: Siti Sulia Febrianti