
M. Fariz Akendra, Wakil Ketua BEM Unsri Pelaku Pelecehan Seksual
Seseorang yang memiliki ego tinggi dan merasa dirinya gagah ternyata sudah lahir dalam bibit hierarki organisasi. Seseorang yang dimaksud dalam pernyataan ini adalah M. Fariz Akendra, pelaku pelecehan seksual kepada lebih dari satu orang di lingkup Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Sriwijaya (Unsri). Padahal marwahnya organisasi mahasiswa menjadi tempat untuk berkembang, tetapi sebaliknya, Akendra menjadi predator pelecehan seksual.
BEM Unsri pada Sabtu (26/10) dini hari mengeluarkan Surat Keputusan BEM Unsri 2024 Nomor: 424/SPTDH/BEM-U/SPI/X/2024 Tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Fungsional BEM Unsri 2024 yang menjelaskan bahwa M. Fariz Akendra secara benar melakukan pelecehan seksual.
Bagaimana Bisa Hal Keji Dilakukan oleh Akendra?
Salah Satu Korban Bersuara di Laman X
Sebelumnya, ramai di laman menfess X/@unsrifess adanya unggahan thread yang diduga dari pihak korban yang memaparkan bahwa terjadi pelecehan seksual pada salah satu organisasi di Universitas Sriwijaya. Unggahan thread pertama pukul 17.56 WIB.




Kronologis lengkapnya dapat dilihat pada laman X/@unsrifess

Unggahan korban melalui X/@unsrifess dalam sebuah thread, Jumat (25/10).
Setelah tiga jam dari unggahan thread pertama, yakni pada pada pukul 21:16 WIB adanya unggahan thread tambahan di laman menfess X/@unsrifess yang menjelaskan ciri-ciri dari pelaku, dengan pernyataan bahwa organisasi yang dimaksud korban ialah organisasi yang memiliki tingkatan tertinggi di Universitas Sriwijaya dan pelaku menjabat sebagai Wakil Ketua.


Unggahan korban melalui X/@unsrifess dalam sebuah thread, Jumat (25/10).
Hal yang Menjadi Janggal
Terdapat beberapa hal yang janggal dalam kasus ini:
- Kejadian tersebut terjadi di sekret organisasi dalam keadaan ramai, sesuai dengan pengakuan korban dalam thread pertama “kronologinyo dimulai dari waktu itu kami ado di sekret, organisasi kami emng abis acara, posisiny jg masih rame” (kronologinya dimulai dari waktu itu kami ada di sekret, organisasi kami memang abis acara, posisinya juga masih ramai).
- Akendra sudah sering melakukan hal seperti itu dan dianggap biasa saja, bahkan dilindungi karena dia berasal dari organisasi hebat, sesuai dengan pengakuan korban dalam thread kedua “… krn dio emng sering buat cak itu dan dianggap biaso, parahnyo lagi dio dibiar ke bae bahkan di lindungi krna dio dari organisasi hebat” (karena dia memang sering berbuat seperti itu dan dianggap biasa, parahnya lagi dia dibiarkan saja bahkan dilindungi karena dia dari organisasi hebat).
Kejadian ini seakan-akan membuat tindakan kekerasan seksual masih dinormalisasi. Foucault (dalam Gordon, 2018) mengatakan kekerasan seksual dapat terjadi karena adanya variabel penting, seperti kekuasaan, konstruksi sosial, dan target kekuasaan. Relasi kuasa antara korban dan pelaku kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi menunjukkan bahwa pelaku memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibanding korban.
Berdasarkan Komisi Nasional Anti Kekerasan (Komnas) Terhadap Perempuan bahwa normalisasi kekerasan seksual terjadi karena masyarakat kurang peka terhadap isu-isu kekerasan yang dialaminya sehingga menghambat proses penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan menambahkan bahwa sikap masyarakat merupakan penopang terbaik dari pemulihan korban dan akses keadilan bagi korban kekerasan.
Batas Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual memiliki batasan yang jelas: pertama, ketika salah satu pihak merasa dirugikan; kedua, tidak adanya consent bersama. Prof. Sulistyowati Irianto dalam artikel Komnas Perempuan menegaskan bahwa kekerasan seksual terjadi karena ketiadaan persetujuan (consent) dan relasi kuasa dan dua unsur tersebut yang perlu ditekankan dalam rangka menghapus kekerasan seksual.
Jika berpacuan pada pernyataan korban dalam laman X/@unsrifess, tindakan yang dilakukan Akendra jelas adalah pelecehan seksual bagi korban, dengan landasan terdapat tindakan yang dianggap memaksa dari Akendra (pelaku) kepada korban tanpa adanya persetujuan korban. Bahkan, korban dengan berani dan tegas mengatakan bahwa dirinya risih atas tindakan Akendra.
Korban Bukan Hanya Satu Orang
Korban yang bersuara dalam laman X/@unsrifess menyatakan bahwa bukan hanya dirinya yang menjadi korban dari tindakan keji yang dilakukan Akendra. Hal ini juga dilakukan kepada teman-teman korban yang menjadi anggota dari organisasi BEM Unsri. Bahkan, keresahan mereka sudah timbul kepada bentuk organisasi itu sendiri.
Korban berharap, dengan sikapnya yang bersuara, maka kasus tersebut dapat ditindaklanjuti dan korban lain juga mampu menyuarakan hal serupa yang mereka alami.
Pelaku Mengakui Tindakan Pelecehan Seksual
Selain berpacuan pada pernyataan yang tercantum dalam Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh BEM Unsri, berdasarkan konfirmasi dari pihak Kepala Departemen Aksi Propaganda BEM Unsri 2024, yakni Rahmat Dwi Putra yang juga tergabung dalam “Aliansi Membara” dengan cepat melakukan tindakan untuk mengatasi pelaku. Ia mengatakan bahwa Akendra mengakui perbuatannya.
“Selaku pemimpin gerakan aksinyo, jadi disini profesi aku memang melawan BEM U-nya, jadi aku ibaratnya menuntut di sini. Kalau dari kami (Aksi Propaganda, Kastrat, dan Akesma) kami semalam itu sebatas menuntut sudah sampai menelepon si pelaku dan dia mengkonfirmasi, dia memang melakukan tindakan tersebut, ‘silahkan lakukan yang seyogyanya, lanjutkan tugas kalian’ (jawab pelaku),” ujar Rahmat.
Kasus Ini Harus Diusut Tuntas
Bukan hanya sampai pada titik pemberhentian M. Fariz Akendra secara tidak hormat di lembaga BEM Unsri. Lebih dari itu, usut tuntas secara tepat dan terbuka segala kejanggalan yang terjadi. BEM Unsri harus menuntaskan kasus pelecehan dan bersikap tegas serta terus mengawal tindakan pelecehan seksual yang terjadi di lingkup organisasinya.
Pihak Unsri wajib menindaklanjuti kasus tersebut karena kejadian berlokasi di lingkungan kampus dan pelaku merupakan bagian dari mahasiswa aktif.
Berpacu pada Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 Pasal 3 berbunyi, “Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dilaksanakan dengan prinsip: a. kepentingan terbaik bagi Korban; b. keadilan dan kesetaraan gender; c. kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas; d. akuntabilitas; e. independen; f. kehati-hatian; g. konsisten; dan h. jaminan ketidak berulangan.”
Selain itu, pada Pasal 10 berbunyi, “Perguruan Tinggi wajib melakukan Penanganan Kekerasan Seksual melalui: a. pendampingan; b. perlindungan; c. pengenaan sanksi administratif; dan d. pemulihan korban.”
Pesan untuk Korban
Terima kasih sudah bersuara. Kalian hebat, kalian berharga! Kita ada bersama, terus dan bertambah banyak.
Kami menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada pembenaran atas perlakuan yang merendahkan martabat manusia, dalam sebuah organisasi hirarki atau struktur bukan menjadi acuan bahwa seseorang lebih hebat dan yang lain tidak. Kasus ini harus diusut tuntas.
#UsutTuntas #JanganDiam #Lawan
Penulis: Gloria Junita, Tesalonika Marpaung, Bagus Rahmat
Editor: Siti Sulia Febrianti