
Serial Lupus, Tangkaplah Daku Kau Kujitak! dan Boys Don't Cry. Dokumentasi/Fajar
Hari Buku Sedunia menjadi momen penting untuk diperingati, sebagai bentuk apresiasi terhadap peran buku yang telah lama menjadi teman setia para pembaca dalam memperkaya literasi dan membuka cakrawala pengetahuan. Pertama kali ditetapkan pada 23 April 1995 oleh UNESCO, tanggal ini dipilih karena bertepatan dengan hari wafatnya beberapa penulis ternama, seperti William Shakespeare (Romeo and Juliet), Miguel de Cervantes (Don Quixote), dan Inca Garcilaso de la Vega (Comentarios Reales de los Incas).
Peringatan ini akhirnya menjadi pengingat bagi khalayak luas akan pentingnya budaya membaca, terutama di tengah derasnya arus informasi digital yang begitu mudah diakses oleh masyarakat hanya melalui genggaman tangan. Melalui buku, kita tak hanya mengenal peristiwa di berbagai belahan dunia, tetapi juga berkesempatan untuk memahami nilai-nilai kemanusiaan, sejarah, hingga imajinasi tanpa batas dari pemikiran para penulis yang menginspirasi. Hari Buku juga menjadi momentum bagi kita untuk mendukung para penulis, penerbit, dan penggiat literasi agar terus menghadirkan karya-karya bermutu yang nantinya bisa dinikmati oleh berbagai kalangan.
Berbicara mengenai buku, Indonesia sendiri memiliki salah satu novel remaja yang sangat populer pada masanya, yakni serial Lupus. Serial ini pertama kali diterbitkan pada 1986 dengan buku pertamanya yang berjudul Tangkaplah Daku Kau Kujitak!, karya almarhum Hilman Hariwijaya, yang sering dikenal luas dengan nama pena Hilman.
Serial Lupus mengisahkan tokoh utama yang namanya sesuai dengan judul seri tersebut, yakni Lupus. Lupus digambarkan sebagai pemuda yang tampan, konyol, dan juga berpemikiran luas dalam menyelesaikan konflik yang ada pada tiap serinya. Dalam ceritanya sendiri, Lupus digambarkan masih duduk di bangku SMA, mengikuti kegiatan jurnalistik di sekolahnya, dan juga diceritakan menjadi seorang wartawan muda di Majalah HAI.
Pada masanya, Lupus benar-benar digemari masyarakat luas, terutama oleh generasi muda yang duduk di bangku SMA. Model rambut berjambul dan gaya khasnya saat mengunyah permen karet benar-benar menjadi sebuah trend di kalangan remaja pada saat itu. Popularitasnya yang luara biasa ini bahkan mendorong adaptasi Lupus ke layar lebar, dengan total enam film yang diangkat dari serial novel ini. Film-film tersebut adalah Lupus I: Tangkaplah Daku Kau Kujitak (1987), Lupus II: Makhluk Manis Dalam Bis (1987), Lupus III: Topi-Topi Centil (1989), Lupus IV: Anak Mami Sudah Besar (1990), Lupus V: Iih, Syereem! (1991), dan Bangun Lagi Dong Lupus (2013).
Dengan mempopulerkan istilah ngocol, yang berarti “melucu” dalam seri-seri novel Lupus yang penuh dengan humor, Hilman berhasil menciptakan sebuah karya populer yang dapat menjadi trendsetter bagi seluruh masyarakat Indonesia pada masa itu.
Dari serial novel Lupus, kita dapat belajar bahwa kesederhanaan yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari bisa menjadi sebuah hal yang lucu untuk dinikmati dalam sebuah narasi cerita. Humor-humor dan konflik yang disajikan dalam berbagai serial novel ini juga akrab dengan pengalaman pelajar di bangku SMA, seperti masalah percintaan, nilai ujian yang tak mencapai kriteria, dan juga berbagai kegiatan Lupus dalam menekuni profesi sebagai jurnalis muda.
Meski menyuguhkan kisah remaja yang penuh humor, Hilman juga menyelipkan nilai-nilai kemanusiaan dalam karyanya. Salah satunya tertuang dalam puisi “Cinta” dalam novel Lupus: Boys Don’t Cry (1999), yang menyampaikan pesan toleransi dan empati.
Puisi Cinta Karya Hilman Hariwijaya dalam Lupus: Boys Don’t Cry (1999) Kami hanya punya cinta, untuk tidak membenci teman yang beda warna kulit. Kami hanya punya cinta, untuk tidak memusuhi teman yang beda suku. Kami hanya punya cinta, untuk tidak menjauhi teman yang beda pendapat. Kami hanya punya cinta, untuk tidak membunuh teman yang beda agama. Kami hanya punya cinta, untuk berbagi rezeki dengan mereka yang kesusahan. Kami hanya punya cinta, untuk tidak mengorbankan orang banyak guna keuntungan diri sendiri. Kami hanya punya cinta, yang membuat kami peka terhadap nasib orang banyak. Kami hanya punya cinta, untuk tidak menari-nari di atas penderitaan orang lain. Kami hanya punya cinta, untuk bisa hidup penuh kedamaian dan ketenteraman. Kami hanya punya cinta, untuk tidak menipu hati nurani demi melindungi orang yang salah. Kami hanya punya cinta, yang membuat kami tetap menjadi manusia beradab dan tidak biadab. Kami hanya punya cinta, yang membuat hati kami hancur melihat pembantaian antar saudara sendiri. Kami hanya punya cinta, yang melihat semua anak Indonesia adalah satu saudara, yang harus disayangi, dilindungi, dan dicintai sepenuh hati. Kami hanya punya cinta… |
Lupus dan karya-karya Hilman Hariwijaya berhasil mengajarkan kita bahwa melalui humor, kesederhanaan, dan nilai-nilai kemanusiaan, sebuah cerita tetap bisa menginspirasi dan membekas di hati pembaca lintas generasi.
Di Hari Buku Sedunia ini, mari kita rayakan literasi yang tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga membangkitkan empati dan cinta kepada sesama, seperti yang tercermin dalam puisi “Cinta” yang menyentuh dari Lupus.
Referensi:
Al Ansori, A. N. (2022). Mengenal Lupus, Tokoh Fiksi dalam Serial Novel Karya Hilman Hariwijaya. Liputan6.com. Diakses pada 20 April 2025, dari https://www.liputan6.com/health/read/4906694/mengenal-lupus-tokoh-fiksi-dalam-serial-novel-karya-hilman-hariwijaya
Kumparan. (2024). Sejarah Hari Buku Sedunia, Tujuan dan Cara Merayakannya. Kumparan.com. Diakses pada 20 April 2025, dari https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/sejarah-hari-buku-sedunia-tujuan-dan-cara-merayakannya-22bB16woZlL
Penulis : M. Fajar Meydiansyah
Editor : Firdaus A. Hakim