Foto: Canva
Teman-teman di sini pasti setuju enggak sih kalau momen saat kita jatuh cinta, atau yang biasa kita sebut butterfly era, itu adalah fase yang paling menyenangkan? Kalau aku pribadi sih setuju banget, soalnya waktu jatuh cinta rasanya setiap mau ngelakuin aktivitas itu pasti semangat aja gitu. Yang biasanya cuek mendadak jadi puitis, yang biasanya logis malah jadi enggak karuan. Tiba-tiba senyum sendiri, tiba-tiba deg-degan hanya gara-gara notifikasi masuk doang. Aneh enggak sih? Seseorang yang dulunya hanya kita anggap “orang biasa” tiba-tiba punya efek sebesar itu dalam hidup kita.
Tapi di sisi lain, mungkin kalian juga pernah merasakan hal yang sama kayak aku, “Kenapa ya saat jatuh cinta, kita seolah enggak bisa berpikir jernih?” Seolah-olah logika kita mendadak mengecil, malah perasaan yang justru mengambil alih semua kontrol. Ternyata, bukan hanya perasaan yang mengambil alih semua kontrol di sini. Secara ilmiah, jatuh cinta memang bikin otak kita bekerja dengan cara yang berbeda. Ada bagian otak yang bekerja lebih kuat dan ada juga yang melemah hingga membuat logika terasa kabur. Jadi kalo kamu pernah ngerasa “Kenapa aku kayak bodoh banget kalo lagi jatuh cinta ya?”, jawabannya itu bukan karena kamu bodoh. Melainkan, karena memang otak kamu sedang bekerja dengan cara yang berbeda.
- Otak yang Kehilangan Logika
Peneliti dari Rutgers University, Helen Fisher, pernah melakukan penelitian memakai pemindaian MRI terhadap orang-orang yang sedang jatuh cinta. Hasilnya menunjukkan bahwa saat mereka melihat foto orang yang mereka cintai, aktivitas di bagian otak yang berhubungan dengan penilaian logis (korteks prefrontal) justru menurun, sedangkan, pada bagian otak yang mengatur sistem penghargaan (ventral tegmental area/VTA) malah bekerja sangat aktif (Fisher dkk., 2005). Artinya, ketika jatuh cinta, otak kita memang mematikan sebagian dari fungsi berpikir rasional serta menyalakan sistem “ketagihan” alami. Karena itu, kita sering membuat keputusan yang irasional dan mengabaikan kekurangan dari pasangan walau dia salah sekalipun.
Zat Kimia di Balik Butterfly Era
Kalian pernah penasaran enggak kenapa perasaan cinta bisa terasa seintens itu, yang bikin deg-degan, bahagia, tapi secara bersamaan juga kadang enggak rasional? Nah, jawabannya ada di otak kita. Ternyata ada empat zat kimia yang bekerja waktu seseorang sedang jatuh cinta, yaitu:
- 1. Dopamin, Si Hormon Bahagia
Yang pertama adalah dopamin, hormon ini yang membuat kamu merasa euforia dan bahagia setiap kali berinteraksi bersama dia. Kalo menurut Bartels & Zeki (2000), dopamin inilah yang bikin kita semangat, lebih produktif, serta merasa seperti “ketagihan” untuk terus dekat dengan orang yang kita sukai atau cintai. Karena efeknya yang kuat, hormon ini menyebabkan otak mendorong kita untuk terus mencari sumber kebahagiaan itu. Oleh karena itu, kita bisa merasa “butuh” dia, bukan hanya “suka” atau “cinta”. Ini bukan menunjukkan bahwa kita lemah, tapi karena memang otak menganggap cinta sebagai bentuk reward.
2. Norepinefrin, si Pemicu Deg-Degan
Yang kedua ada norepinefrin, hormon ini merupakan penyebab dari semua rasa butterflies in the stomach yang kita rasakan. Hormon ini membuat jantung kita berdebar, tangan dingin, susah tidur bahkan fokus berlebihan pada satu orang. Akibat lainnya, hormon ini membuat energi kita meningkat serta fokus kita hanya tertuju pada satu orang saja, efeknya mirip seperti adrenalin (Marazziti dkk., 1999). Mungkin ini alasan kenapa ketika melihat dia, otak langsung “siaga satu.”
3. Oksitosin Dan Vasopresin, Si Hormon Keterikatan
Yang ketiga, ketika hubunganmu mulai stabil dan penuh rasa percaya, dua hormon ini yang berperan penting. Oksitosin sering disebut sebagai love hormone karena dilepaskan saat kamu menatap ataupun bersentuhan dengan pasanganmu ataupun ketika kalian merasa dekat secara emosional. Hormon-hormon ini yang membantu menciptakan rasa keterikatan maupun kesetiaan dalam hubungan (Young & Wang, 2004).
4. Serotonin, Si Penurun Logika
Nah, hormon terakhir ini yang cukup unik, saat jatuh cinta kadar serotonin dalam diri kita justru menurun. Hal ini yang menyebabkan kamu jadi lebih impulsif, gampang overthinking, bahkan menjadi terobsesi pada pasanganmu sendiri. Penelitian oleh Marazzati (1999) menemukan bahwa kadar serotonin orang yang sedang jatuh cinta mirip seperti penderita OCD (Obsessive-Compulsive Disorder). Jadi sebenernya, wajar aja kalau kamu suka cek HP kamu berulang kali hanya untuk melihat “dia online atau tidak.”
Semua zat ini bekerja dalam harmoni yang rumit, yang membuat kita bahagia sekaligus kehilangan logika. Cinta ternyata merupakan campuran kimia yang unik, di satu sisi penuh rasa senang dan semangat, namun di sisi lain membuat kita kehilangan kendali akan logika kita sendiri. Tapi, mungkin disitulah letak keindahannya, bahwa hal yang tampak sederhana seperti “jatuh cinta” ternyata adalah eksperimen biologis paling kompleks yang pernah dilakukan oleh otak manusia.
Cinta, Logika, dan Ilmu di Baliknya
Dari semua penjelasan diatas, kita bisa melihat bahwa jatuh cinta ternyata bukan hanya urusan hati, tapi juga kerja sama kompleks antara otak dan tubuh. Cinta bikin kita berenergi, berani bahkan berkorban, semua karena otak sedang menyalakan sistem reward yang membuat kita terus mencari rasa senang itu. Tapi di sisi lain, sistem yang sama juga membuat kita kehilangan logika.
Helen Fisher juga menyebutkan dalam penelitiannya bahwa cinta bukan hanya soal emosi, melainkan motivational drive, yaitu dorongan kuat dari otak untuk terus mendekat pada orang yang dianggap penting. Jadi, ketika kamu tetap bertahan di hubungan yang sedang kamu jalani, walaupun kamu tahu kalau hubungan itu berat bahkan udah toxic, bisa jadi itu bukan soal karena kamu bodoh, tapi karena otak kamu memang “diprogram” untuk memperjuangkan ikatan itu. Dan menariknya, bahkan ketika cinta itu berakhir, sistem itu belum langsung berhenti. Dalam riset lain, Fisher dan timnya (2010) menemukan bahwa orang yang baru putus cinta masih menunjukkan aktivitas dopamin yang tinggi di otaknya. Dengan kata lain, otaknya masih belum siap untuk melepaskan kebiasaan bahagia yang dulu pernah tercipta. Itulah mengapa move on sering terasa lebih susah daripada jatuh cinta itu sendiri.
Refleksi: Hormon dan Hati
Kalau dipikir-pikir, cinta memang aneh. Dia bisa membuat orang yang paling logis sekalipun jadi orang yang impulsif, dan yang paling rasional jadi penuh harapan terhadap seseorang. Tapi mungkin justru di situlah keindahannya. Bahwa manusia, secerdas apapun otaknya, tetap memiliki sisi lembut yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya oleh sains. Cinta bikin kita belajar menerima kekurangan seseorang, bahwa terkadang kehilangan sedikit logika adalah cara tubuh mengingatkan kita untuk merasakan. Dan dari situ, kita jadi tahu bahwa cinta bukan tentang logis atau tidak logis, tapi tentang berani terbuka, berani gagal dan juga berani jatuh lagi.
Jadi, kalau kamu lagi di masa butterfly era dan merasa logika kamu kok enggak sejalan dengan semestinya, tenang aja. Kamu enggak aneh, kamu hanya sedang menjadi manusia. Otak kamu bekerja sebagaimana semestinya, yaitu menyalakan semua hormon yang bisa membuat kamu berdebar, berbinar bahkan kadang bingung sendiri.
Seperi kata Helen Fisher, bahwa cinta adalah bentuk motivasi paling kuat yang bisa dimiliki oleh manusia. Mungkin karena itu, meski kita semua tahu bahwa cinta kadang bisa bikin kita bodoh, kita tetap aja rela untuk jatuh cinta lagi dan lagi.
Penulis: Imas Putri Salsabila C.
Editor: M. Rafif Al-Farouq Mangkunegara
DAFTAR RUJUKAN
Bartels, A., & Zeki, S. (2000). The neural basis of romantic love. NeuroReport, 11(17), 3829–3834. https://doi.org/10.1097/00001756-200011270-00046
Fisher, H. E., Aron, A., Mashek, D., Li, H., & Brown, L. L. (2005). Romantic love: An fMRI study of a neural mechanism for mate choice. The Journal of Comparative Neurology, 493(1), 58–62. https://doi.org/10.1002/cne.20772
Fisher, H. E., Brown, L. L., Aron, A., Strong, G., & Mashek, D. (2010). Reward, addiction, and emotion regulation systems associated with rejection in love. Journal of Neurophysiology, 104(1), 51–60. https://doi.org/10.1152/jn.00784.2009
Marazziti, D., Akiskal, H. S., Rossi, A., & Cassano, G. B. (1999). Alteration of the platelet serotonin transporter in romantic love. Psychological Medicine, 29(3), 741–745. https://doi.org/10.1017/S0033291799008426
Young, L. J., & Wang, Z. (2004). The neurobiology of pair bonding. Nature Neuroscience, 7(10), 1048–1054. https://doi.org/10.1038/nn1327